Dari Alat Peraga ke Arsitek Perubahan dalam Politik

Oleh: Bayu Anugerah, Mahasiswa Hukum Universitas Jambi

Pilkada serentak seharusnya menjadi tonggak sejarah bagi generasi muda untuk mengekspresikan aspirasi mereka dan menentukan arah masa depan daerah. Namun, realitas menunjukkan bahwa banyak anak muda di Indonesia masih terjebak dalam peran sebagai alat kampanye, bukan sebagai pemikir kritis yang mampu membawa perubahan. Dalam banyak kasus, suara mereka dimanfaatkan untuk kepentingan politik sesaat, mengaburkan potensi yang seharusnya mereka miliki.

Keterlibatan generasi muda dalam politik sering kali dipandang sebelah mata, meskipun mereka merupakan pemilih terbesar dengan proporsi mencapai 31,23 persen. Namun, statistik ini tidak lebih dari sekadar angka tanpa makna jika suara mereka tidak dialokasikan untuk perubahan substantif. Di dunia, kita melihat bagaimana generasi muda di Swedia dan Prancis berhasil mendorong agenda kebijakan melalui organisasi yang memberi mereka platform. Di Indonesia, ironisnya, banyak anak muda justru terjerumus dalam politik identitas dan serangan personal yang tidak konstruktif.

Budaya politik kita saat ini merugikan generasi muda, menjadikan mereka relawan dalam kampanye yang berfokus pada serangan pribadi ketimbang pembangunan visi yang jelas. Media sosial, yang seharusnya menjadi alat untuk mobilisasi dan diskusi produktif, sering kali berubah menjadi arena pertarungan kata-kata yang merusak. Generasi muda harus mampu mengalihkan energi ini untuk menciptakan dialog yang membangun dan menawarkan solusi untuk tantangan nyata yang dihadapi masyarakat.

Masalah mendasar yang harus dihadapi adalah bagaimana generasi muda diposisikan dalam ekosistem politik. Mereka sering kali dipandang sebagai komoditas yang harus dikendalikan oleh elit politik untuk meraih suara, bukan sebagai agen perubahan yang memiliki kapasitas untuk mengusung ide-ide inovatif. Untuk mengubah narasi ini, generasi muda perlu menolak untuk hanya menjadi pelengkap, tetapi berani mengambil inisiatif dalam merancang solusi yang konkret terhadap isu-isu mendesak seperti pendidikan, lingkungan, dan keadilan sosial.

Lebih jauh lagi, tantangan yang dihadapi generasi muda tidak hanya berasal dari luar, tetapi juga dari dalam diri mereka sendiri. Ada ketakutan akan penolakan dan stigma sosial yang sering menghalangi mereka untuk bersuara. Keterlibatan yang bermakna tidak dapat dicapai jika generasi muda terus berpegang pada citra yang dangkal atau terjebak dalam perdebatan yang tidak produktif. Mereka harus berani menantang status quo, mengusung nilai-nilai kejujuran dan keadilan, serta mengadvokasi untuk perubahan yang berlandaskan moral.

Saatnya bagi generasi muda untuk bertransformasi dari sekadar alat peraga menjadi arsitek perubahan yang meletakkan fondasi bagi masa depan yang lebih baik. Mereka harus memiliki visi yang jelas dan keberanian untuk menantang praktik-praktik politik yang tidak sehat. Dengan menempatkan integritas di atas kepentingan politik sesaat, generasi muda dapat menciptakan ruang bagi dialog yang konstruktif dan menggugah pemikiran kritis di tengah masyarakat.

Jika tidak sekarang, kapan lagi? Generasi muda memiliki potensi untuk menjadi penggerak perubahan, tetapi itu semua tergantung pada keputusan mereka untuk mengambil alih narasi dan memperjuangkan masa depan yang lebih baik. Jangan biarkan suara mereka hanya menjadi statistik; biarkan mereka menjadi kekuatan yang mengubah wajah politik Indonesia.

Komentar