Kisah Pilu SDN 102/VI Merkeh: Siswa Harus Tempuh 2 KM Demi Air Bersih

MERANGIN.PILARDAERAH.COM — Sebuah kondisi memprihatinkan terjadi di Sekolah Dasar Negeri (SDN) 102/VI Merkeh, Kecamatan Renah Pembarap, Kabupaten Merangin, Provinsi Jambi.

Di era pendidikan modern seperti saat ini, sekolah tersebut justru masih bergulat dengan persoalan paling mendasar: ketiadaan sumber air bersih. Sejak pertama kali dibangun, sekolah ini tidak memiliki sumur dan tidak mendapat pasokan air layak untuk keperluan harian.

Ketiadaan sumber air membuat seluruh aktivitas mandi, cuci, hingga kakus (MCK) bergantung pada sungai yang berjarak sekitar dua kilometer dari sekolah. Para siswa dan guru setiap hari harus berjalan kaki menuju sungai, kemudian membawa air kembali ke sekolah untuk kebutuhan dasar.

Situasi ini tidak hanya menyulitkan, tetapi juga berbahaya karena mereka harus melewati jalan lintas Sumatera yang ramai oleh kendaraan besar.

Kepala SDN 102/VI Merkeh, Budi Yansen, menyampaikan keprihatinannya atas kondisi yang mereka alami. Ia menjelaskan bahwa dengan jumlah siswa mencapai 133 orang, kebutuhan air bersih tidak mungkin terpenuhi hanya dengan menampung air hujan.

Alternatif menggunakan kamar mandi masjid dan rumah warga pun sudah tidak memungkinkan, lantaran warga mulai keberatan karena sering dipakai oleh para siswa.

“Karena kondisi mendesak, kami harus mengajak siswa mengambil air ke sungai. Tidak ada sumur, tidak ada sumber air lain yang bisa diandalkan. Setiap hari kami berjalan kaki sejauh dua kilometer dan melewati jalur lintas Sumatera yang cukup berbahaya,” ujar Budi, Selasa (18 November 2025).

Ia menambahkan bahwa pihak sekolah telah beberapa kali mengajukan permohonan kepada pemerintah daerah, namun hingga kini belum ada realisasi.

Budi juga menegaskan bahwa sejak sekolah tersebut berdiri, belum pernah sekalipun dibangun sumur, baik sumur manual maupun sumur bor.

Menurutnya, hal itu semakin memperparah kondisi pendidikan bagi anak-anak yang seharusnya mendapat fasilitas dasar dengan layak.

“Kami sudah berulang kali menyampaikan keluhan ini kepada pihak terkait, tetapi sampai sekarang belum ada perkembangan,” tegasnya.

Kisah serupa disampaikan oleh salah satu siswa bernama Aleksi, yang mengaku bahwa dirinya dan teman-teman harus rela berjalan kaki jauh hanya untuk buang air ataupun mengisi ember.

“Kami terpaksa ke sungai karena di sekolah tidak ada air. Untuk buang air kecil dan besar pun harus ke sungai,” ujarnya polos.

Situasi ini tentu sangat memprihatinkan bagi dunia pendidikan, terutama mengingat risiko keselamatan yang dihadapi para siswa. Berjalan kaki sejauh dua kilometer, bolak-balik membawa air, dan melintasi jalan raya yang ramai menjadi ancaman nyata bagi keselamatan mereka. Guru pun tidak selalu bisa mendampingi setiap kelompok siswa karena keterbatasan tenaga.

Pihak sekolah berharap pemerintah daerah dan Dinas Pendidikan Kabupaten Merangin segera turun tangan menangani persoalan yang sudah berlangsung bertahun-tahun ini.

Mereka menilai pembangunan sumur bor adalah solusi paling mendesak untuk menjamin keberlangsungan kegiatan belajar mengajar tanpa harus mempertaruhkan keselamatan siswa.

Di akhir, para guru dan siswa menyampaikan harapan besar agar pemerintah memperhatikan kondisi memiriskan tersebut.

“Kami hanya ingin fasilitas dasar seperti sekolah-sekolah lain. Kami berharap segera ada sumur dibangun, agar anak-anak tidak lagi harus mengangkut air dari sungai yang jauh,” tutup Budi Yansen.