Oleh: Yulfi Alfikri Noer S. IP., M. AP, Akademisi UIN STS Jambi
Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) adalah salah satu instrumen penting untuk mengukur kualitas demokrasi di tingkat nasional maupun daerah. Data ini disusun oleh Badan Pusat Statistik (BPS) bekerja sama dengan Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Kemenko Polhukam), serta Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas). IDI mengukur tiga aspek utama demokrasi: kebebasan sipil, hak-hak politik, dan lembaga demokrasi, dengan sumber data berasal dari media massa, dokumen resmi pemerintah, serta Focus Group Discussion (FGD) di tingkat provinsi (https://www.bps.go.id).
Hasil rilis terbaru menunjukkan dinamika yang menarik. Pada tahun 2024, terdapat 15 provinsi yang masuk kategori TINGGI (nilai IDI > 80), 18 provinsi pada kategori SEDANG (nilai 60–80), dan 1 provinsi pada kategori RENDAH (nilai < 60) (https://katalog.satudata.go.id). Secara nasional, nilai IDI Indonesia tahun 2024 berada pada angka 79,05, yang menempatkannya di kategori SEDANG. Dibandingkan dengan tahun 2023 (79,40), terjadi sedikit penurunan sebesar 0,35 poin (https://www.bps.go.id).
Beberapa daerah mengalami penurunan cukup signifikan. Kalimantan Utara turun dari kategori TINGGI ke SEDANG, sementara Papua mengalami penurunan lebih tajam dari SEDANG menjadi RENDAH, dengan skor hanya 56,55, terendah secara nasional. Fenomena ini menunjukkan masih adanya tantangan besar dalam menjaga ruang kebebasan sipil, hak politik, serta kualitas lembaga demokrasi di wilayah tertentu.
Sebaliknya, sejumlah provinsi berhasil mempertahankan atau meningkatkan kualitas demokrasinya. DI Yogyakarta tetap menjadi provinsi dengan skor tertinggi, yakni 89,25, disusul oleh Bali (88,34) dan Jawa Tengah (86,17) (BPS, 2024). Capaian ini menegaskan bahwa daerah-daerah tersebut konsisten dalam memperkuat tradisi demokrasi dan partisipasi publik.
Dalam konteks ini, Provinsi Jambi patut mendapat sorotan khusus. Berdasarkan data resmi BPS, Jambi mencatat skor 82,21 pada tahun 2024, yang menempatkannya pada kategori TINGGI (BPS, 2024). Angka ini tidak hanya menunjukkan keberhasilan Jambi menjaga stabilitas demokrasi, tetapi juga menandakan kemajuan signifikan yang sejajar dengan provinsi-provinsi barometer demokrasi nasional seperti DI Yogyakarta, Bali, dan Jawa Tengah. Prestasi ini lahir dari kombinasi berbagai faktor: keterbukaan ruang publik, peran aktif masyarakat sipil, serta komitmen pemerintah daerah dalam menjaga transparansi dan partisipasi.
Jika kita melihat ke belakang, capaian ini adalah hasil dari tren positif yang mulai terlihat dalam satu dekade terakhir. Pada tahun 2015, misalnya, IDI Jambi masih berada di kategori sedang dengan skor di bawah 75 (BPS, 2016). Namun secara bertahap, skor ini terus meningkat berkat semakin terbukanya ruang publik, meningkatnya partisipasi pemilih, serta peran aktif masyarakat sipil dan media lokal dalam mengawasi jalannya pemerintahan. Lonjakan skor menuju kategori tinggi baru tercapai pada 2022 dengan angka 81,34, dan sejak itu konsisten terjaga (BPS, 2023). Dengan kata lain, keberhasilan 2024 bukanlah capaian instan, melainkan buah dari proses panjang konsolidasi demokrasi di daerah.
Keberhasilan Jambi dalam menembus kategori tinggi memiliki arti strategis. Pertama, ia membuktikan bahwa kualitas demokrasi tidak hanya bisa berkembang di pusat-pusat tradisi politik nasional, melainkan juga di daerah. Kedua, capaian ini memberi sinyal positif bagi investor, dunia usaha, dan masyarakat luas bahwa Jambi mampu menyediakan ruang politik yang stabil dan sehat. Ketiga, keberhasilan ini menjadi teladan bagi provinsi lain yang masih berjuang mengatasi tantangan demokrasi.
Refleksi lebih jauh membawa kita pada pemahaman bahwa demokrasi adalah proses yang terus berkembang. Sejarah menunjukkan, demokrasi di Indonesia sering menghadapi pasang surut, mulai dari masa Orde Lama, Orde Baru, hingga reformasi. Dalam konteks itu, capaian Jambi di tahun 2024 menjadi bagian dari mozaik demokrasi Indonesia yang kaya warna. Ada daerah yang mengalami kemajuan pesat, ada pula yang tertinggal atau bahkan mundur.
Namun demikian, angka IDI hanyalah pintu masuk. Tantangan sesungguhnya terletak pada bagaimana capaian tersebut bisa diwujudkan dalam praktik nyata sehari-hari. Demokrasi yang sehat bukan hanya tercermin dari statistik, tetapi dari kehadiran pemerintah yang transparan, media yang bebas, lembaga politik yang akuntabel, serta masyarakat yang aktif menyuarakan aspirasinya.
Pada akhirnya, keberhasilan Jambi mencapai nilai IDI ≥80 bukan hanya sebatas catatan statistik, tetapi menunjukkan bahwa demokrasi yang sehat bisa tumbuh di segala penjuru Nusantara bila sumber daya data, partisipasi masyarakat, dan pemerintahan daerah merespons tanggung jawabnya. Dengan data resmi dari BPS dan dataset “Indeks Demokrasi 2024” sebagai tonggak referensi, kita memiliki pijakan objektif untuk menilai kemajuan demokrasi. Mari menjadikan capaian ini sebagai momentum agar semakin banyak provinsi mengikuti jejak Jambi bukan hanya dari sisi angka, tetapi dalam praktik politik, pelayanan publik, transparansi, dan keadilan yang dirasakan masyarakat sehari-hari.