Oleh: Yulfi Alfikri Noer S. IP., M. AP, Akademsis UIN STS Jambi
Cita-cita besar Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia menuntut hadirnya arah kebijakan kelautan yang jelas, terpadu dan berkesinambungan. Unt uk itu, pemerintah telah menyusun Kebijakan Kelautan Indonesia yang dirumuskan melalui Rencana Aksi Kebijakan Kelautan Indonesia Tahun 2016–2019, dan diperkuat kembali melalui Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2017. Langkah ini kemudian dilanjutkan dengan Rencana Aksi Kebijakan Kelautan Indonesia Tahun 2021–2025 yang tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 34 Tahun 2022. Dokumen kebijakan tersebut menjadi pijakan penting dalam menyinergikan program dan kegiatan kelautan di tingkat kementerian, lembaga, hingga pemerintah daerah, agar pembangunan maritim benar-benar sejalan dengan target pembangunan nasional.
Namun, keberhasilan kebijakan maritim tidak bisa hanya diukur dari dokumen dan target makro di tingkat pusat. Ia harus mampu meresap ke realitas daerah, di mana sejarah, geografi, dan kearifan lokal membentuk wajah maritim Indonesia yang sesungguhnya. Provinsi Jambi, misalnya, menyimpan potensi maritim yang bukan hanya terletak pada pesisir sepanjang 261,80 kilometer dan luas laut hampir 400 ribu hektar, tetapi juga pada Sungai Batanghari yang sejak berabad-abad lalu menjadi jalur perdagangan emas, lada, dan hasil bumi, sekaligus nadi transportasi kerajaan Melayu hingga Sriwijaya (https://belongsthey.co.uk).
Mengabaikan fakta historis sekaligus tantangan kontemporer ini membuat kebijakan maritim berisiko timpang, kuat di pusat, lemah di daerah. Karena itu, mengkaji ulang arah kebijakan maritim nasional dengan menekankan tata ruang laut yang adil, efisien, dan berkelanjutan serta mengintegrasikan sungai-sungai besar sebagai bagian dari identitas maritim Indonesia menjadi kebutuhan mendesak agar potensi daerah seperti Jambi tidak sekadar menjadi catatan pinggiran, tetapi benar-benar menjadi bagian dari strategi maritim bangsa. Dalam kerangka inilah, urgensi penataan ruang laut di Jambi menjadi sangat penting untuk diperhatikan, mengingat wilayah pesisirnya menyimpan potensi sekaligus tantangan yang harus dikelola secara bijak.
1. Pentingnya Penataan Ruang Laut (Maritime Spatial Planning)
Provinsi Jambi memiliki wilayah pesisir sepanjang sekitar 261,80 km dan luas laut mencapai sekitar 394.946,81 hektar, yang terbagi antara Tanjung Jabung Timur dan Tanjung Jabung Barat. Gubernur Al Haris menekankan perlunya pengelolaan kawasan konservasi laut yang efisien, adil, dan berkelanjutan, serta berharap kendala pengelolaannya dapat segera diatasi (https://jambiprov.go.id). Jika kebijakan maritim nasional dikaji ulang dengan menekankan aspek tata ruang laut (zoning), Jambi dapat memperoleh manfaat dalam hal kepastian zona kegiatan (perikanan, pariwisata, transportasi, konservasi), pencegahan konflik antarsektor seperti antara nelayan lokal dan investasi industri, serta perlindungan masyarakat tradisional di wilayah pesisir. Selain tata ruang laut, aspek ekonomi juga perlu disorot melalui gagasan ekonomi biru yang kini menjadi arus utama kebijakan nasional.
2. Strategi Ekonomi Biru dan Konsistensi Kebijakan Nasional
Sejalan dengan visi Kementerian Kelautan dan Perikanan yang memperluas kawasan konservasi laut hingga 30% dari total perairan Indonesia (dengan target 97,5 juta hektar pada 2045) ((https://jambiprov.go.id), Jambi dapat memperoleh keuntungan jika kebijakan nasional diturunkan lebih konsisten ke level daerah. Penetapan kawasan konservasi laut dengan target realistis, integrasi program ekonomi biru yang menjaga keseimbangan antara pemanfaatan dan kelestarian, serta peningkatan kesejahteraan masyarakat pesisir akan menjadi dampak nyata dari kebijakan maritim yang lebih berpihak pada daerah.
3. Keterbatasan Data dan Kapasitas Daerah
Namun, kebijakan nasional yang masih bersifat umum sering kali tidak menjawab kebutuhan perencanaan di tingkat lokal. Evaluasi menunjukkan hanya beberapa provinsi seperti Jawa Timur, DIY, Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Maluku Utara yang telah memiliki rencana zonasi resmi (https://surajis.files.wordpress.com). Bagi Jambi, keterbatasan data biogeofisik, oseanografi, dan sosial ekonomi, ditambah minimnya SDM dan anggaran, menjadi hambatan serius. Revisi kebijakan maritim nasional karenanya harus memberikan dukungan konkret berupa peningkatan akses terhadap data geospasial dan sosial budaya, pelatihan teknis untuk perencana daerah, serta alokasi anggaran khusus guna mempercepat penyusunan Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP-3-K). Ini merupakan dokumen perencanaan resmi yang wajib disusun pemerintah provinsi sesuai amanat Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang kemudian diubah dengan UU No. 1 Tahun 2014.
4. Kearifan Lokal, Kebudayaan, dan Inklusivitas
Aspek lain yang tak kalah penting adalah dimensi sosial budaya. Tata ruang laut yang inklusif harus menghormati adat, budaya, dan kearifan lokal, terutama di komunitas pesisir. Proses revisi kebijakan nasional sebaiknya mendorong partisipasi aktif nelayan tradisional dan masyarakat adat di pesisir Jambi, menciptakan mekanisme pengambilan keputusan yang transparan, serta menjamin agar hak-hak tradisional dan nilai kearifan lokal benar-benar terakomodasi dalam rencana zonasi.
Revisi kebijakan maritim nasional bukan sekadar agenda makro, tetapi kebutuhan nyata di tingkat regional. Di Jambi, penataan laut yang lebih sistematis dan inklusif, penguatan konservasi dengan manfaat ekonomi berkelanjutan, peningkatan kapasitas lokal, serta optimalisasi kontribusi masyarakat tradisional merupakan langkah strategis untuk memastikan maritim benar-benar menjadi penopang pembangunan.
Dimensi Historis Sungai Batanghari dalam Kerangka Maritim Nasional
Lebih dari itu, penting disadari bahwa dimensi maritim Indonesia tidak hanya sebatas laut, melainkan juga mencakup sungai-sungai besar yang sejak lama menjadi urat nadi peradaban. Sungai Batanghari, sungai terpanjang di Pulau Sumatra, memanjang sekitar 775–870 km dari hulu di Pegunungan Bukit Barisan hingga muaranya di Selat Berhala, dengan daerah aliran sungai (DAS) seluas kira-kira 44.890–46.500 km². Di musim kering Batanghari dapat dinavigasi lebih dari 300 km oleh perahu dan kapal hingga ukuran \~20 ton, sementara lebar aliran utama berkisar 300–500 meter dan kedalaman di beberapa lintasan mencapai sekitar 6–7 meter, sehingga historisnya memang memungkinkan lalu lintas kapal dagang dan transportasi massal. (https://www.researchgate.net).
Peran Batanghari dalam jaringan perdagangan Nusantara bukan sekadar narasi
Sejak era Sriwijaya dan Kesultanan Melayu Jambi, jalur ini menjadi koridor pengangkutan rempah-rempah (termasuk lada), emas, gaharu, dan hasil hutan dari pedalaman ke pelabuhan pesisir sehingga pedagang dari India, Tiongkok, dan dunia Arab memanfaatkan rute ini untuk mengakses pasar-pasar domestik dan internasional. Studi sejarah dan arkeologi menunjukkan bahwa tingkat navigabilitas dan kapasitas angkutan sungai inilah yang membuat Jambi menjadi simpul perdagangan regional (https://www.researchgate.net).
Di masa kini, potensi ekonomi yang tersisa tetap nyata tetapi memerlukan dukungan kebijakan dan infrastruktur: produksi perikanan Provinsi Jambi pada 2022 tercatat sekitar 46.892 ton (produk perikanan tangkap), menandakan basis ekonomi perairan yang signifikan dan relevan apabila Batanghari diintegrasikan ke jaringan logistik maritim modern. Selain itu, struktur armada lokal di Jambi masih didominasi kapal/perahu bertonase kecil (sering <10 GT), yang mengisyaratkan kebutuhan peningkatan kapasitas logistik dan layanan pelabuhan agar muatan massal dan konektivitas dapat ditingkatkan. (https://www.bps.go.id).
Tren infrastruktur juga mendukung gagasan integrasi sungai-laut. Dokumen rencana induk pelabuhan daerah, seperti rencana untuk Pelabuhan Muara Sabak dan keberadaan pelabuhan inland seperti Pelabuhan Jambi yang berfungsi sebagai feeder, menunjukkan peluang untuk memperkuat koridor Batanghari-laut melalui investasi terminal, dermaga transhipment dan perbaikan navigasi kapal. Jika ditangani secara terencana, Batanghari dapat kembali menjadi koridor logistik yang menghubungkan hinterland Jambi ke jalur pelayaran internasional. (https://id.scribd.com).
Dengan gambaran kuantitatif ini, tawaran kebijakan menjadi lebih konkret: pemerintah pusat dan daerah perlu memprioritaskan (a) pemetaan navigabilitas yang rinci (dengan survei kedalaman dan hambatan), (b) peningkatan fasilitas pelabuhan dan terminal di sepanjang Batanghari, (c) program modernisasi armada nelayan dan angkutan sungai, serta (d) integrasi RZWP-3-K yang memperhitungkan koridor sungai sebagai bagian dari tata ruang maritim. Langkah-langkah itu tidak hanya akan menghidupkan kembali fungsi sejarah Batanghari, tetapi juga memperkuat ekonomi biru yang inklusif bagi Jambi dan jaringan maritim Indonesia secara keseluruhan.
Menimbang kembali posisi Batanghari berarti menimbang kembali arah kebijakan maritim nasional. Apakah kita akan terus membiarkan sungai-sungai besar hanya sebagai lanskap geografis atau menghidupkannya kembali sebagai jalur nadi peradaban dan logistik bangsa. Jambi dengan Batangharinya adalah cermin paradok. Di masa lalu menjadi poros perdagangan regional, tetapi kini tersisih dari narasi maritim modern.
Fakta ini mengingatkan kita, bahwa lebih dari 70% wilayah Indonesia adalah perairan. Maka, mengintegrasikan Batanghari ke dalam strategi maritim nasional bukan sekadar agenda lokal, melainkan bagian dari ikhtiar geopolitik bangsa untuk meneguhkan kedaulatan ekonomi dari hulu ke hilir. Dengan demikian, Sungai Batanghari tidak hanya menjaga warisan sejarah Jambi, tetapi juga menghubungkan daerah ke samudra luas, menegaskan bahwa sungai dan laut adalah satu kesatuan dalam peta maritim Nusantara.