MUAROJAMBI.PILARDAERAH.COM – Di tengah gegap gempita perayaan HUT ke-80 Republik Indonesia (RI), potret pendidikan masih tersaji memilukan di Desa Tanjung Lebar, Kabupaten Muarojambi, Jambi.
Betapa tidak, tiga sekolah dasar di wilayah ini berdiri dengan kondisi sangat memprihatinkan, jauh dari kata layak untuk disebut sebagai sarana pendidikan.
Sekolah-sekolah tersebut merupakan filial atau cabang dari Sekolah Dasar Negeri (SDN) 232/IX Sungai Beruang. Bangunannya terbuat dari kayu seadanya, berdiri di tengah wilayah pedalaman, dan kini sudah rapuh termakan usia.
Dinding yang lapuk, lantai kayu yang berderit, hingga papan tulis yang sobek menjadi pemandangan sehari-hari bagi para murid. Foto-foto pahlawan nasional yang terpajang di dinding sempit seolah menjadi saksi bisu perjuangan anak-anak desa menuntut ilmu di tengah keterbatasan.
Ironisnya, ketiga sekolah tersebut berada di wilayah konflik tapal batas antara Kabupaten Batanghari dan Kabupaten Muarojambi. Persoalan batas wilayah yang tak kunjung selesai membuat pembangunan pendidikan di sana terbengkalai.
Seorang sumber terpercaya menyebutkan, sudah bertahun-tahun sekolah ini luput dari perhatian pemerintah. “Ada tiga sekolah dasar yang kondisinya memprihatinkan karena persoalan tapal batas ini,” ungkapnya, Selasa (19/8/2025).
Ia menyayangkan tarik-ulur antara dua kabupaten justru berdampak pada masa depan anak-anak desa. “Inikan untuk anak bangsa kita. Mau Batanghari atau Muarojambi, pendidikan tetap harus jalan. Tapi karena konflik tapal batas, Muarojambi tidak bisa membangun,” tandasnya.
Kepala Dusun III Sungai Jerat, Sukri, turut membenarkan kondisi tersebut. Ia menyebut jarak menuju sekolah filial itu cukup jauh. “Kalau dari Dusun III ke lokasi sekolah, butuh waktu sekitar satu jam,” tuturnya.
Menurut Sukri, sekolah-sekolah itu dibangun dengan swadaya masyarakat sejak lama. Namun, hingga kini tidak ada sentuhan pembangunan berarti karena status wilayah masih abu-abu. “Ini harus ada pelepasan wilayah dulu, supaya jelas,” singkatnya.
Situasi ini semakin ironis mengingat Indonesia sudah 80 tahun merdeka. Namun, di pelosok Muarojambi masih ada anak-anak bangsa yang belajar di ruang kelas reyot, jauh dari fasilitas standar pendidikan.
Tak hanya soal pendidikan, Desa Tanjung Lebar juga menghadapi persoalan mendasar lain, yakni listrik. Hingga kini, desa tersebut belum dialiri listrik PLN meski sudah lebih dari 10 tahun menunggu.
Kepala Desa Tanjung Lebar, Endang Lestari, mengaku prihatin. Kondisi tanpa listrik membuat warga desa sulit berkembang. “Kami sudah terlalu lama hidup tanpa listrik. Ini jelas menyulitkan,” katanya.
Endang bahkan nekat menemui Menteri Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal (PDT), Yandri Susanto, di Jakarta beberapa waktu lalu. Tujuannya agar desanya bisa segera merasakan akses listrik layak seperti masyarakat di daerah lain.
“Kami ingin benar-benar merdeka, termasuk menikmati listrik yang sudah semestinya menjadi hak masyarakat,” tegasnya penuh harap.
Kini, warga Desa Tanjung Lebar berharap pemerintah pusat maupun daerah segera mengambil langkah nyata. Bagi mereka, pendidikan dan listrik bukanlah kemewahan, melainkan hak dasar yang harus dipenuhi demi masa depan anak-anak bangsa.