Fenomena Kelangkaan Bahan Baku di Sektor Karet Alam Provinsi Jambi
Sektor perkebunan karet di Provinsi Jambi telah masuk ke fase kritis terparah sepanjang sejarah. Selain harga ditingkat petani yang juga tak kunjung membaik selama lebih dari satu dekade, hari ini lonceng kematian sektor karet agaknya tinggal menunggu waktu saja jika tidak segera ditanggapi serius. Setiap hari, ditemukan warga terus mengkonversi lahan karet mereka dengan komoditas lain, utamanya sawit, sebagian tebu, kopi dan sayur-sayuran. Bahkan tahun 2023 ini publik dibuat geger dengan tutupnya 2 pabrik karet di Provinsi Jambi. Perusahaan terpaksa tutup tersebut PT Angkasa Raya Jambi dan PT Batanghari. Harga yang tak kunjung membaik hingga keputusan petani yang enggan memanen karet membuat bahan baku karet sulit didapat. Kedua PT tersebut merupakan bagian dari 11 pabrik karet yang selama berpuluh-puluh tahun beroperasi di Provinsi Jambi (ANTARA,2023).
Adapun dilevel nasional, sebanyak 45 perusahaan pabrik pengolahan karet juga resmi tutup dalam kurun waktu 5 tahun terakhir, dari jumlah total sebelumnya sebanyak 152 pabrik, kini telah menyisakan 107 perusahaan saja (Kompas, 2023).
Jika kita meneropong balik pada krisis ekonomi nasional yang terjadi pada tahun 1998, sektor perkebunan karet masih tetap dipertahankan oleh masyarakat. Hal ini sangat berbeda dengan kondisi saat ini dimana dengan harga yang terus tertekan berkepanjangan membuat banyak petani karet di Jambi berada dititik putus asa. Harapan akan kembalinya fase kejayaan karet yang pernah mencapai harga hingga Rp 28.900/kg dilevel petani yang pernah terjadi pada bulan Juli tahun 2008 agaknya belum juga terjawab hingga lebih dari satu dekade berlalu (Kompas, 2008). Kini sebanyak 251.403 petani karet di Provinsi Jambi nasibnya terombang-ambing tanpa ada angin segar yang membuat mereka tenang begitu pula dengan Provinsi sentra penghasil karet di Indonesia. Sederet upaya yang telah dilakukan oleh pemerintah daerah maupun pusat juga nyaris tak memberikan “peta jalan” apapun pada sektor perkebunan karet di Provinsi Jambi.
Wujud dari semakin redupnya sektor karet ini membuat para petani melakukan 3 hal berikut, yaitu:
Petani langsung mengalihfungsikan kebunnya dengan menebang semua pohon karetnya dan menanamnya dengan tanaman komoditas lain, mayoritas sawit, kopi, tebu, sayur-sayuran dan pinang.
Petani mengalih fungsikan kebunnya dengan metode sisip, dimana menyisipkan penanaman komoditas lain diantara tanaman karet hingga tanaman tersebut menghasilkan yang selanjutnya semua pohon karet akan ditebang.
Petani menganggurkan kebun karetnya untuk bekerja di sektor lain agar dapat menabung. Setelah uang dikumpulkan cukup, petani akan mengkonversikan kebunnya dengan menanam komoditas lain dengan uang yang dikumpulkan sebelumnya.
Masa Depan Karet Tampak Masih Suram, Perlu Langkah Strategis
Indikator adanya ancaman eksistensi karet alam di Provinsi Jambi dapat dilihat pada indikator volume ekspor Year On Year (YoY) untuk Januari sampai April 2023 menurun sebesar 13% dibandingkan tahun 2022 (BPS). Sedangkan secara nilai, ekspor karet Provinsi Jambi Year On Year untuk periode yang sama menurun sebesar 33,7%. Hal ini disusul dengan telah tutupnya dua pabrik karet di Provinsi Jambi dan dapat diperkirakan dengan kondisi saat ini pabrik-pabrik karet yang masih beroperasi bersaing untuk memperoleh bahan baku (Republika, 2023). Hal ini dapat diperkuat dengan catatan di Provinsi Jambi sekitar 800-an buruh pabrik karet telah dirumahkan karena kondisi kelangkaan bahan baku ini, dan masih dapat diperkirakan terus berlanjut ke depannya jika tidak ada langkah strategis yang diambil untuk memperbaiki keadaan ini (Kompas, 2023).
Keadaan ini tidak dapat dihindari oleh pabrik karet remah mengingat karakteristik dari sektor industri karet alam yang sangat bergantung erat dengan sumber bahan baku dari petani dan peruntukkan mayoritas ekspor. Melihat situasi Provinsi Jambi saat ini, maka dapat dikategorikan dua ancaman yang dihadapi yaitu ancaman yang datang dari dalam dan ancaman yang datang dari luar.
Ancaman dari dalam yang telah dirasakan dan sedang berlangsung saat ini yaitu kekurangan bahan baku yang akan terus berlanjut mengingat sumber bahan baku dari kebun petani yang telah banyak dialih fungsikan ke tanaman komoditas lain yang lebih menguntungkan. Mayoritas petani karet beralih untuk menanam sawit, tebu, kopi dan tanaman pangan. Alasan kuat yang melatarbelakangi alih fungsi tersebut adalah harga jual dan pendapatan yang lebih menjanjikan bagi petani.
Ancaman kedua yaitu adanya regulasi European Union Deforestation Regulation (EUDR). Hal ini diperkirakan menjadi lebih serius mengingat saat ini telah bermunculan negara-negara produsen baru yang mayoritas dari dunia ketiga (Afrika) dan beberapa di Asia. Negara-negara tersebut berpeluang menggantikan porsi ekspor Indonesia jika Indonesia tidak dapat memenuhi ketentuan EUDR dan masih memiliki permasalahan kekurangan bahan baku. Sebagai contoh Pantai Gading dan Kamboja yang beberapa tahun belakangan secara mengejutkan mengalami perkembangan yang pesat dan masuk ke dalam jajaran top 4 dan top 7 negara produsen utama karet dunia dan hingga saat ini masih melakukan upaya peningkatan produktifitas dan ekspansi perluasan kebun karet di negaranya.
Pemerintah (Pemerintah Daerah dan Pusat) perlu bersinergi untuk me-lead penyusunan langkah strategis penyelamatan sektor karet alam dengan melibatkan seluruh pemangku kepentingan terkait. Beberapa hal utama yang menjadi prioritas untuk dilaksanakan:
1) dukungan data sektor karet alam (hulu ke hilir) yang akurat,
2) langkah strategis dalam mempertahankan eksisting perkebunan karet yang masih ada agar tidak dialih fungsikan,
3) memperkuat sistem kelembagaan,
4) perlu terobosan baru dan pemikiran out of the box (kebanyakan terobosan yang dijalankan saat ini adalah cara lama yang tetap dipertahankan),
5) Efisiensi sistem pemasaran karet alam, dan
6) sumber dukungan pendanaan (internal maupun eksternal).
Persiapan Menghadapi Tantangan EUDR
Beberapa hal yang harus kita pahami terkait dengan regulasi EUDR berdasarkan official journal EU Deforestation Regulation, yaitu:
Aturan ini terdiri dari tiga komponen penting yaitu: a) produk terbebas dari deforestasi (tanggal dan rentang waktu diproduksi), b) negara produksi (pemenuhan regulasi relevan terkait dengan negara dimana diproduksi), dan c) uji tuntas (traceability).
Subjek utama regulasi ini adalah kepada operator bisnis dan trader (di Eropa) yang menempatkan produknya di pasar Eropa, hanya saja pada praktiknya nanti akan juga membebankan ke sisi pelaku produsen di luar negara Eropa.
Geolokasi yang digunakan dengan ketentuan jika di bawah 4 hektar maka menggunakan koordinat garis lintang dan bujur, sedangkan jika lebih dari 4 hektar maka menggunakan poligon.
Penegak hukum dan pihak berwenang di Eropa dapat memeriksa/memastikan koordinat geolokasi dengan citra satelit atau peta tutupan hutan untuk menentukan telah memenuhi persyaratan bebas deforestasi.
Ketentuan untuk poligon yaitu hanya untuk satu plot tanah dan tidak dapat melingkup area yang lebih luas mencakup beberapa plot tanah atau plot tanah selain tempat komoditi ditanam.
Sertifikasi merupakan alat untuk penilaian tingkat resiko dan mitigasi untuk produk yang legal dan terbebas dari deforestasi yang belum dapat dipastikan telah memenuhi syarat ketertelusuran sepenuhnya (pahami skema sertifikasi yang ditawarkan).
Apa langkah strategis yang dapat dilakukan?
Dalam hal ini penulis dalam lingkup sebagai pakar muda di bidang ilmu pertanian berkelanjutan dan ilmu ekonomi memberikan sumbangsih pemikiran sebagai berikut:
Memperkuat lobby internasional bersama-sama dengan negara produsen karet lainnya (terutama Thailand dan Malaysia) terkait sustainability (termasuk regulasi EUDR di dalamnya)
Membentuk satu lembaga khusus di sektor karet alam (hulu-hilir) yang memiliki otoritas penuh baik di ranah nasional dan daerah yang bertugas memberikan rekomendasi kebijakan strategis, mencari sumber pendanaan, dan menjalankan program-program strategis perbaikan sektor perkaretan nasional dan daerah dengan fokus utama diantaranya sebagai berikut:
1) Percepatan peremajaan kebun karet dengan menggunakan klon unggul dan sistem budidaya penunjang yang jelas hingga umur tanaman menghasilkan,
2) Mencari dan mengelola dana sustainability fund (CESS Fund, carbon trading, pendanaan capacity building, dan jenis pendanaan sustainability lainnya), dana dari donor, dan lainnya,
3) Mempercepat hilirisasi untuk pemenuhan konsumsi domestik akan produk-produk yang menyerap banyak bahan baku karet alam dan dapat dikomersialisasikan,
4) Meningkatkan efisiensi dan transparansi tata niaga karet alam,
5) Mengorganisir dan memperkuat kelembagaan petani, dan
6) Mengembangkan model kemitraan yang cocok di sektor karet alam.
Penulis:
Angga Eko Emzar (Alumni Georg-August University Goettingen, Jerman, Dosen Pertanian Berkelanjutan ITS NU Jambi)
Muhammad Sidik (Mahasiswa Doktoral Ilmu Ekonomi Universitas Jambi, Direktur Ontology Institute)
Komentar