JAMBI.PILARDAERAH.COM — Siapa menyangka di Jambi terdapat sebuah museum bioskop terbesar, bahkan terbesar di Asia. Bagaimana tidak, di dalam museum sederhana ini terdapat benda-benda kuno sisa-sisa dari puluhan bioskop yang ada di Provinsi Jambi, seperti ribuan poster kanvas aneka film yang dilukis tangan, sejumlah proyektor buatan Jerman, kursi bioskop kuno hingga pita kaset film lawas.
Semua itu, terdapat di Museum Bioskop Tempoa Jambi atau Tempoa Art Gallery yang terletak di Jalan Tempoa atau dibelakang Pasar Hongkong, Jelutung, Kota Jambi.
Pengelola Museum Bioskop Tempoa Jambi, Rachmadi mengatakan, museum ini berawal dari salah seorang pemilik bioskop ternama di Jambi, yakni Harkopo Lie mengumpulkan barang-barang bisnis filmnya yang tersebar di 21 bioskop di Provinsi Jambi.
Pasalnya, perkembangan bioskop tanah air sekitar tahun 2006 sudah dirambah dengan sinema 21. Tidak hanya, menghadirkan bioskop yang mewah, dengan pendingin udara, suara film yang jernih dan tempat duduk yang bagus tapi juga memiliki banyak layar film dalam satu bioskop.
Lantaran banyaknya barang-barang bioskop yang tertinggal, oleh keluarga Lie dikumpulkan menjadi satu di gedung yang dijadikan museum tersebut.
Barulah di tahun 2015, keluarga Lie bertemu dengan para seniman Jambi, seperti almarhum Sakti Alam Watir, Edi Dharma, Alamsyah Amir, Fauzi Zuber, Firman Lie, Hendi Fresco dan lainnya.
“Dari pertemuan inilah tercetus gagasan untuk membuat pameran dan sekaligus menjadi kawasan wisata Jambi. Dan barulah pada tahun 2016, kawasan ini disebut Tempoa Art Gallery,” ujar Rachmadi belum lama ini.
Yang tidak disangka, terdapat ribuan poster-poster film koleksi pribadi. “Ini adalah aset poster-poster asli yang masih original. Semuanya masih dilukis menggunakan tangan,” tuturnya.
Menurutnya, setelah dihitung ternyata ada terdapat 1.180 poster film asli, baik poster film Indonesia, India, Mandarin dan Hollywood.
“Sudah menjadi artefak (benda arkeologi atau peninggalan benda-benda bersejarah). Kini, poster asli ini sudah menjadi koleksi pribadi,” katanya.
Diakuinya, ribuan artefak di museum ini sudah sulit ditemui dibelahan dunia mana pun. “Kita mencoba melestarikannya agar generasi berikutnya mengetahui perkembangan zaman di saat peralihan teknologi,” imbuh Rachmadi.
Diantara judul film-film yang terdapat di poster tersebut, yakni film Rambo, Dono Kasino Indro, Di Dadaku Ada Cinta, Isabella hingga poster film Rhoma Irama dan ratu horor Suzanna.
Dia menambahkan, selain menyimpan ribuan koleksi poster film dalam bentuk kanvas, juga terdapat mesin proyektor film lama.
“Proyektor filmnya buatan made in Jerman pada tahun 79. Selain itu, kasetnya juga masih ada dan masih asli semua. Kursi bioskop juga masih ada,” katanya.
Selain itu, pihaknya juga memiliki sejumlah karcis lawas dari harga tiket masuk (HTM) dari bioskop Presiden, Ria, Mega dan bioskop Sumatera.
“Poster tertua masih tersimpan, yakni tahun 1956. Saat ini lagi dipamerkan di Jakarta. Saya lupa judul filmnya. Kalau poster terakhir dibuat tahun 99,” ungkap Rachmadi.
Sejak diketahui orang banyak, kolektor artefak ini ada yang menawar koleksi di museum ini. Namun, semua itu ditolaknya.
“Cukup banyak orang yang menawar koleksi ini yang harganya lumayan tinggi. Setelah diskusi, akhirnya peninggalan bersejarah ini dijadikan ruang edukasi. Supaya anak kecil dan generasi berikutnya mengetahui transfer teknologi zaman dulu ke kini,” tandasnya.
Kalau dulu, katanya, poster filmnya masih dilukis. Seiring waktu, sekarang ini di printing dengan teknologi digital. Tidak hanya itu, tampilan poster film bawaan tersebut berubah sesuai karakter budaya Indonesia.
“Kalau poster dulu masih ada nilai seninya karena dilukis tangan. Poster film sekarang sudah digital, cetak print dan tidak dilukis lagi. Hilang nilai seni budayanya. Sudah tidak menampilkan keindahan yang menggambarkan sejarah,” tuturnya.
Akibatnya, sambung Rachmadi, koleksinya sulit ditemukan lagi dan nyaris tidak ada lagi. Karena bioskop sekarang sudah era digital.
Seharusnya, pihak pemerintah daerah mengapreasi koleksi langka ini untuk dijadikan aset daerah.
“Jujur saja, keberadaan museum ini sedikit kurang terekspos. Karena tidak sedikit waktu, pikiran dan biaya untuk untuk mengoleksi barang bersejarah ini ke museum,” ujarnya.
Namun, untuk masuk ke museum ini masih belum terbuka untuk umum. “Sifatnya masih terbuka tapi terbatas,” tukasnya.
Warga Kota Jambi yang berkesempatan masuk museum, Dori mengatakan, ini adalah museum bioskop terbesar di Asia Tenggara dan hanya ada di Kota Jambi.
“Koleksinya luar biasa’, ada ribuan lebih, mulai dari poster film, peralatan pemutar film, kursinya juga masih ada, jam dinding bioskop hingga telepon lawas untuk antar ruangan,” ujarnya.
Menurutnya, bila masuk ke museum bioskop ini, teringat kenangan masa lalu waktu masuk bioskop, dari harga tiket Rp600 hingga tiketnya puluhan ribu rupiah.
Nicholas Hansen, turis asal Australia yang berkesempatan masuk mangaku takjub dan tidak mengira masih ada jejak sejarahnya.
“Sengaja datang ke Jambi untuk melihat koleksi poster film lawas yang masih original dibuat dengan tangan,” katanya.
Dirinya mengaku, mengetahui tempat ini dari koleganya saat berkunjung ke Jakarta beberapa waktu lalu.
“Saya berharap, museum ini bisa menjadi tempat wisata, edukasi. Pemerintah daerah harus support ini, dan bisa dilestarikan serta dipromosikan,” tukas Nicholas.
Menyikapi itu, Rachmadi menambahkan, upaya tersebut sudah ada. Namun, sudah berganti pemimpin belum ada langkah konkrit.
“Sebaiknya pemerintah daerah menjadikan ini sebagai aset daerah dan dijadikan katalog salah satu kunjungan wisatawan. Turis luar negeri bae mengapreasi, masak kita tidak,” harapnya.
(azhari)
Komentar